Saturday, December 15, 2007

MEMAHAMI KEGAGALAN DIRI

Ketika seseorang memiliki tujuan hidup yang hendak dicapainya, dia akan berjuang sekuat tenaga, mati-matian mewujudkan tujuan tersebut karena itulah keinginannya. Seiring dengan berjalannya waktu, perjuangan kadangkala tidak selalu berjalan mulus. Banyak hal yang bisa menjadi penghalang. Bisa jadi tujuan tersebut tidak disertai dengan ’niat’ yang baik, usaha yang tidak mengukur kemampuan diri, atau faktor eksternal yang kurang diperhitungkan pada awal penetapan tujuannya yang dapat mengganggu kesuksesannya meraih tujuan itu.


Seorang teman begitu gigih ingin membuat buku yang spektakuler. Tujuannya adalah menjadi penulis yang populer. Bertahun-tahun dia menulis, mengumpulkan referensi dari berbagi sumber, berkelana dari satu kota ke kota lain bahkan ke berbagai negara. Menghabiskan banyak rupiah untuk mencari pengalaman, menambah wawasan, memasok pengetahuan bahkan memperbanyak teman yang potensial dari berbagai disiplin ilmu. Semua hal dikerjakannya, dilampaui demi sejuta informasi dan ilmu yang tengah dicari dari inspirasi demi inspirasi. Sehingga sampailah dia pada hasil tulisannya yang sudah terkumpul hingga ratusan halaman. Namun ketika mendatangi penerbit untuk menawarkan bukunya agar dapat diterbitkan secara komersial, sang editor pada perusahaan tersebut terhenyak dengan ketebalan tulisannya yang tidak wajar. Apa boleh buat sang teman yang penulis tersebut harus bersedia untuk mengedit sendiri ratusan halaman yang telah susah payah dikerjakannya selama bertahun-tahun. Alasan sang editor/penerbit sangat wajar. Untuk penulis pemula, nama teman tersebut belum ‘menjual’, demikian juga dengan tulisan yang terlalu bertele-tele akan sangat melelahkan pembaca buku, yang akhirnya mengarah kepada ketidakjelasan jalan cerita tulisan itu sendiri. Ketika dia berkeluh kesah tentang kegagalannya mencetak rekor penulis buku paling tebal tahun ini ( bukan buku paling laris yang seharusnya dicapai oleh pengarang), muncul beberapa pertanyaan dan pernyataan……….
 Apa yang salah dengan buku saya?
Pertanyaan ini menandakan dia kurang koreksi diri. Mestinya pada awal penetapan tujuan menjadi penulis populer, dia harus bisa membuat perangkat stategi, seperti: Apa isi buku saya nanti, berat atau ringan bobot buku yang saya tulis, siapa pembaca saya, apa yang menjadi daya tarik pembaca buku saya nanti? Sehingga akan dapat memberikan koridor yang jelas kemana arah tulisannya.
 Apakah Editor dan penerbit tidak faham maksud tulisan saya.
Lagi-lagi teman ini kurang siap dengan resiko terhadap pencapaian tujuan. Jika saja dia mengerti bahwa menulis buku adalah untuk pembaca, maka akan ada andil perusahaan penerbit untuk mensukseskan tujuan ini. Penerbit lebih tau buku mana yang layak untuk diterbitkan sehingga mendatangkan profit perusahaan. Editor memahami pembaca, unsur tulisan mana dari buku tersebut yang mudah dicerna pembaca, yang akan disukai pembaca ,atau plot dan isi mana yang tidak layak dalam alur sebuah tulisan.
 Apanya yang salah? Sia-sia saja saya bekerja keras untuk menulis, jika kemudian tidak diterbitkan juga.
Dan masih banyak lagi pernyataan yang mengganjal disanubarinya.

Melihat pada pengalaman teman tersebut dalam menghadapi sebuah kegagalan diri, barangkali yang paling kurang pada diri teman tersebut adalah penetapan tujuan yang kurang jelas, proses yang tidak terarah, idealisme yang tidak rasional dan pemahaman kegagalan yang tidak disiapkan semenjak dini ketika memulai usaha mencapai tujuannya.

Memang, pada kebanyakan orang tidak memiliki kesiapan ketika harus menghadapi kegagalan. Karena umummnya kegagalan merupakan hal yang sangat dibenci karena tidak saja bersifat menghambat tapi juga merupakan presure yang sangat menyakitkan. Padahal, ketika sebuah kegagalan telah disiapkan sebagai sebuah resiko yang harus ditanggung, tidak sedikit orang yang berhasil dengan mudah menyikapinya bahkan melanjutkan tujuan yang sempat mengalami ’kondisi gagal’ tersebut.
Ambil contoh seorng pengusaha meubel di kota cirebon. Pada tahun 90-an ketika usaha meubel rotan miliknya mengalami kebangkrutan yang parah, merupakan perkiraan yang telah dibuat sebelumnya karena memang dia dan anggota keluarganya tidak pernah memiliki pengalaman sedikitpun di dunia meubel. Kesadarannya ini melahirkan sebuah gagasan baru belajar kembali dari nol. Dia mendatangi seorang pengusaha meubel dikawasan kemang menawarkan diri untuk bekerja meski tidak diupah. Ketika proses bekerja dilakukannya, Sang pemilik workshop mempelajari ketrampilannya, kemudian membawanya kenegeri Belanda, negara asal pemilik galeri tersebut untuk diajarkan tentang minat orang luar terhadap meubel dari Indonesia. Kemudian terhenyaklah dia betapa penggunaan barang-barang buatannya di Jakarta yang dia kerjakan sehalus dan seindah mungkin itu hanya digunakan untuk pot bunga, menyimpan buku bekas, menyimpan pakaian kotor bahkan untuk barang-barang yang jarang disentuh. Setelah belajar beberapa bulan di negeri kincir angin itu pulanglah ia untuk membangkitkan kembali usaha meubel miliknya dengan tidak lagi menggunakan rotan sebagai bahan baku, namun menciptakan inovasi meubel berbahan pelepah pisang. Dia memetik pelajaran yang berharga, membuat meubel yang ia lakukan secara hati-hati, proses yang panjang, bahan yang mahal ternyata tidak demikian tinggi penghargaan pembeli terhadap hasil karyanya. Dia berfikir pelepah pisang biasanya hanya sebagai limbah, dibuang dan tidak pernah dimanfaatkan. Pelepah pisang barangkali akan menjadi inovasi pemenuhan kebutuhan meubel, dengan harga baku yang rendah dan teknologi serta proses yang tidak rumit.

Cerita yang hampir sama juga dialami oleh seorang petani singkong di Jawa Tengah yang gagal dalam menjual hasil panennya kepada tengkulak karena hasil panen yang serentak menyebabkan harga singkong dipasaran anjlok. Sebagai konskuensi dari kegagalan yang diperhitungkan tersebut, maka petani itu mengolah hasil panennya menjadi produk siap makan yang pemasarannya jauh lebih mudah dipasaran.
Cara-cara menghadapi kegagalan dengan kedewasaan berfikir ini telah dimiliki oleh berjuta orang yang mengetengahkan kedewasaan emosi, kecerdasan berfikir dan pengembangn pola pikir yang positif dalam kehidupannya.

Banyak ragam kegagalan yang mengahantui setiap sisi kehidupan manusia, dari tujuan hidup,ekonomi dan bisisnis, politik , keluarga, pendidikan, karya bahkan sampai urusan asmara dan yang lainnya.
Tidak sedikit pula tokoh yang pernah mengalami kegagalan, dari Perdana Menteri yang dipaksa turun dari jabatannya seperti Nehru atau wakil perdana mentri Anwar Ibrahim, presiden yang dikudeta seperti Saddam Hussein dan Marcos, atau politikus yang ambruk bersama partainya ketika kalah dalam pemilihan umum, jaksa yang dakwaannya tidak didengar hakim, guru yang tertunda kepangkatannya, karyawan yang kalah dalam promosi jabatan, artis yang bercerai setelah 20 tahun menikah, bisnis yang gulung tikar karena regulasi yang tidak berpihak pada pengusaha, petani yang tanamannya terserang hama, pedagang makanan yang tidak laku karena banjir, pertemuan yang tertunda karena kemacetan dan lain sebagainya.
Reaksi orang terhadap kegagalan yang diterimanya juga beragam. Ada orang yang hidup dengan berani mengambil resiko, sekalipun itu sebuah kegagalan yang pahit. Ada pula orang yang menatap kegagalan dengan menikmatinya secara santai dan elegan. Ada orang yang profesional mengelola kegagalan apapun itu bentuknya sebagai sebuah titik balik atau kebangkitan hidupnya. Ada orang yang bersembunyi dan menenggelamkan diri dari hiruk pikuk kehidupan karena hanya menangisi kegagalan. Ada yang bunuh diri karena tidak bisa mengambil hikmah dari situasi yang tidak nyaman dalam kegagalan. Ada orang yang menjadi gila tanpa arah karena merasa selalu gagal. Ada yang tidak tahu harus bagaimana setelah benar-benar gagal. Ada orang yang menggunakan rasio, akal dan nuraninya. Ada orang yang menyerahkan kegagalannya kepada Sang Maha Pencipta dan meminta dia diberi petunjuk agar kelak tidak gagal.

Sebagai manusi modern sekarang ini, barangkali kita musti belajar lebih banyak dari setiap pengalaman hidup orang-orang yang pernah mengalami ketidaknyamanan dalam kondisi gagal, melihat sisi-sisi positif dari setiap kegagalan yang pernah dialami sendiri dan orang lain, juga manfaat yang dilahirkan dari sebuah kegagalan. Kini, bertanyalah kita : Siapkah Kita Menghadapi Kegagalan sebagi sebuah resiko dalam hidup?

No comments: